بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Assalamu’alaykum wr.wb
Kembali mengkaji kitab
Bulughul Maram bersama Ustadz KH. Hilman Rosyad Shihab, Lc. Kali ini kita akan
mengulas hadits no. 1487.
Dari Ibnu Mas’ud, Ia
berkata: Saya bertanya kepada Rosulullah shalallahu’alayhi
wa sallam: ‘Dosa apakah yang paling besar?’ Beliau bersabda: ‘Bahwa engkau
adakan sekutu bagi Allah padahal Dia-lah yang menjadikanmu.’ Saya bertanya: ‘Kemudian
apa?’ Sabdanya: ‘Bahwa engkau bunuh anakmu karena takut ia makan besertamu’.
Saya bertanya: ‘Kemudian apa?’ Sabdanya: ‘Bahwa engakau berzina dengan istri
tetanggamu.’ (Muttafaqun ‘Alaihi).
Hadits ini diriwayatkan
oleh Abdullah ibnu Mas’ud. Sedikit biografi tentang Ibnu Mas’ud, beliau adalah
seorang sahabat Rosulullah shalallahu’alayhi
wa sallam yang memiliki perawakan kecil, berjenggot tipis, sangat pemberani
-tatkala berdakwah di mekkah didepan ka’bah
beliau di jewer oleh Abu Jahal hingga terangkat kakinya hingga hingga putus telinganya,
ketika itu beliau dibawa kehadapan Rosulullah, kemudian Rosulullah berkata; ‘Tenanglah
karena kau akan memutuskan lehernya,..’ hal ini terbukti ketika perang Badar
dimana Abu Jahal ditebas lehernya oleh Abdullah ibnu Mas’ud-. Abdullah
termasuk kedalam 4 orang Abadillah
(orang-orang yang dikenal sebagai Ulama dikalangan sahabat) :
1. Abdullah
ibnu Mas’ud (r.a),
2. Abdullah
bin ‘Amr bin Ash (r.a),
3. Abdullah
bin Umar (r.a),
4. Abdullah
ibnu Abbas (r.a).
Kehidupan keempat sahabat
tersebut tidak terlalu baik bila dibandingkan dengan sahabat Rosulullah yang
lain, karena mereka mendedikasikan dirinya dalam menuntut ilmu, mengkaji, dan
mengamalkannya. Sehingga Abdullah ibnu Mas’ud sampai-sampai tidak dapat
menafkahi istrinya, istrinyalah yang mencukupi kehidupan mereka dengan
mengandalkan samakan kulit yang dilakukan oleh istrinya Abdullah ibnu Mas’ud -hingga Rosulullah shalallahu’alayhi wa
sallam pernah berkata bahwa ‘samakan kulit terbaik adalah samakan kulitnya
istrinya Ibnu Mas’ud...’-. Melihat kondisi tersebut Ibnu Mas’ud bertanya
kepada Rosulullah, wahai Rosulullah apa hukumnya pemberian istri kepada
suaminya, Rosulullah menjawab; ‘Pemberian
terbaik (shodaqoh) seorang wanita adalah pemberian seorang istri kepada
suaminya’. Mendengar jawaban tersebut Ibnu Mas’ud menjadi tenang.
Kekhususan hadits yang berasal dari Ibnu Mas’ud adalah terletak pada kebiasaan
Ibnu Mas’ud yang sering bertanya kepada Rosulullah perihal yang berbeda dengan
apa yang ditanya para sahabat pada umumnya,-pada
umumnya para sahabat menanyakan mengenai keutamaan-keutamaan ibadah, sedangkan
Ibnu Mas’ud lebih banyak bertanya tentang kebalikannya, yaitu perihal dosa dan
hal-hal yang jarang ditanyakan oleh para sahabat yang lain-, begitupula
dengan sahabat yang bernama Hudzaifah bin Yaman, yang sering bertanya seputar
kiamat dan yang pertanda-pertanda lainnya, sehingga Rosulullah sering menjawab
pertanyaan mengenai hal tersebut secara khusus pada Hudzaifah bin Yaman
dibanding sahabat yang lain.
Pada zaman kekhalifahan
Umar bin Khatab (r.a), Ibnu Mas’ud ditempatkan di kuffah (baca: Iraq) sebagai
mufti disana. Ibnu Mas’ud memiliki murid yang utama, seorang pengusaha kaya
bernama Abu Hanifah. Dikalangan ulama hadits dari Abu Hanifah tergolong kedalam
hadits dhaif -dikarenakan kesibukan Abu
Hanifah mencari nafkah- sehingga hadits yang keluar dari beliau diragukan
keshahihannya. Oleh karena itu Abu hanifah tidak mengkhusukan dirinya sebagai
periwayat hadits mengingat kondisinya tersebut, namun diluar itu semua, Abu
Hanifah dikenal sebagai seorang yang cerdas dengan hafalan yang baik. Sehingga
beliau lebih banyak mengeluarkan pendapat/ pandangan pribadinya terhadap
berbagai permasalahan agama. Abu hanifah tidak mau mengatakan sesuatu itu haram
atau halal beliau lebih mengedepankan pandangan beliau terhadap suatu hal/ masalah,
dan apa yang menjadi pandangan beliau tergolong lengkap. Dan dari pemikiran beliau
lahirlah mazhab Hanafiyah, yang tersebar keseluruh penjuru dunia hingga saat
ini hampir 500 juta penduduk dunia, tersebar ke India, Bangladesh, Pakistan, Turki,
Tamil, dsb.
Imam Syafi’i pernah meneliti
pendapat-pendapat Abu Hanifah, sehingga memotivasi beliau berangkat ke Iraq
untuk bertemu Abu Hanifah (r.a), namun Imam Syafi’i tidak berhasil bertemu
dikarenakan Abu Hanifah (r.a) meninggal dunia, Imam Syafi’i bertemu dengan
muridnya Abu Hanafi yaitu Abu Yusuf, dan dari Abu Yusuf-lah Imam Syafi’i mempelajari
semua catatan Abu Yusuf tentang semua pendapat-pendapat yang pernah dikeluarkan
Abu Hanifah (r.a) dan diperoleh kesimpulan bahwa setiap pendapat Abu Hanifah memiliki
dalil sesuai Al Quran dan Hadits.
Kemudian salah seorang
ulama dari 4 Abadillah yang karyanya
menjadi acuan hingga saat ini adalah Abdullah bin Abbas (r.a). Abdullah bin
Abbas mengkhususkan dirinya pada ilmu tafsir, sebagaimana Rosulullah shalallahu
‘alayhi wa sallam pernah berkata mengenai Abdullah ibn Abbas sebagai Turjuma’ul Quran. Dan dari beliau-lah
induk semua tafsir yang ada hingga sekarang. Alkisah Imam At Thabari yang wafat
sekitar ± 500 H. Mendapatkan semua tafsir Abdullah bin Abbas dari seorang
muridnya secara lengkap. Kemudian Imam At Thabari mengkaji tafsir Abdullah bin
Abbas yang dia peroleh tersebut. Kemudian pada generasi berikutnya lahirnya
tafsir Ibnu Katsir yang menjadi cikal bakal mazhab Hambali dan fii dzilalil quran karya syekh sayyid
Quthb yang semuanya bersumber pada tafsir Abdullah ibn Abbas (r.a).
Dikenal pula dari
kalangan Abadillah yaitu Abdullah bin
Umar (r.a), seorang ulama yang banyak membuahkan informasi-informasi politik
yang berasal dari ayahnya yaitu Umar ibn Khattab (r.a), selama beliau
menemaninya.
Kembali kepada hadits
yang kita angkat kali ini, ada beberapa poin penting yang dibahas yaitu :
1. Syirik
Disebut
dosa besar karena diawali oleh pengetahuan si pelakunya. Pelakunya mengetahui
bahwa Allah (s.w.t) sebagai tuhannya yang patut disembah kemudian malah
melenceng untuk menyekutukannya, sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi
terhadap perintah Nabi Musa (a.s) dimana kaumnya lebih memilih menyembah patung
sapi emas dibandingkan menyembah Allah (s.w.t) karena mereka menganggap
menyembah Allah (s.w.t) berbelit dan tidak langsung. Sama halnya dengan kaum Nashrani
dengan sikapnya yang mengkultuskan Nabi Isa (a.s) sehingga menyebabkan mereka
menyimpang dari ajaran yang lurus sehingga timbulah sikap menyembah salib dan
patung yesus kristus yang ada sekarang. Sama halnya dengan kaum nifaq dan fasiq mereka tergolong kedalam kaum kafir bersama-sama dengan kaum
Yahudi dan Nashrani -karena mereka tahu suatu kebenaran namun mereka
menafikkannya-.
Berbicara
mengenai dakwah yang dilakukan oleh Rosulullah shalallahu’alyhi wa sallam, tidaklah mudah beliau menghadapi
berbagai rintangan dengan kondisi masyarakat ketika itu dalam keadaan musyrik
(menyembah berhala), namun disinilah nilai positif kaum Quraisy dimana mereka
merupakan keturunan dari Nabi Ibrahim dan Ismail (a.s) yang masih mewarisi fitrah berupa ketauhidan dari nenek
moyang mereka berupa wafa’ (kesetiaan/ loyalitas), huur (kemerdekaan), iqaramud
dhoif (memuliakan tamu), menghormati wanita, dan kemampuan dagang yang
baik. Kisah ketauhidan ini bermula dari kisah perjalan Siti Hajar dan Nabi
Ibrahim (a.s) hijrah dari Babilonia (Iraq) ke Mekkah yang berjarak ± 1500 Km,
dimana ketika itu baru lahir Nabi Ismail (a.s). Perjalanan itu memperlihatkan
ketauhidan seorang Ibrahim dan Hajar dimana kegundahan Siti Hajar terhadap
sikap Ibrahim (a.s) yang tidak menghiraukan setiap pertanyaannya sepanjang
perjalanan, hingga pada satu titik Siti Hajar tersadar bahwa suaminya sebagai
seorang Nabi sedang menjalankan perintah Allah (s.w.t), kemudian dengan bahasa
keimanan Siti Hajar bertanya -‘Wahai
suamiku apakah kau diperintahkan Allah (s.w.t) untuk melakukan ini semua?’,
jawab Ibrahim (a.s); ‘benar wahai istriku’,
kemudian Siti Hajar menjawab; ‘jika
begitu jangan kau resah karena kami, karena aku yakin Allah (s.w.t) tidak akan
menyiakan diriku’-. Dari situlah Nabi Ibrahim (a.s) bertambah kuat
menjalankan perintah tuhannya, hingga meneruskan meninggalkan Siti Hajar dan
anaknya Nabi Ismail (a.s) sendiri ditengah lembah yang kering. Kisah ini terus
berlanjut hingga kisah penyembelihan Nabi Ismail (a.s) yang menjelaskan tentang
kekuatan ketauhidan dari keluarga Ibrahim (a.s), dan hal inilah yang diwariskan
kepada keturunan mereka di Mekkah Al Mukarramah hingga sekarang.
Sikap
melenceng kaum Quraisy menyembah berhala terjadi akibat kekosongan Nabi yang
turun sejak kenabian Ismail (a.s), berbeda dengan jalur kenabian Ishaq (a.s)
saudaranya, yang terus bersambung hingga kenabian Musa (a.s) yang berdakwah
terhadap kaum Bani Israil. Kekosongan inilah yang menyebabkan penyimpangan pada
fitrah mereka, dimana sikap pemberani mereka (huur) disalurkan pada kegemaran berperang, kesetiaan/ loyalitas (wafa’) menjadi tolak ukur penilaian
terhadap seseorang pada sukunya, menganggap wanita sebagai biaya yang harus
dikeluarkan sehingga praktek mengubur bayi perempuan mereka menjadi suatu hal
yang biasa. Sehingga sebenarnya tidak ada penolakan terhadap konsep ajaran yang
dibawa Rosulullah shalallahu’alayhi wa
sallam oleh kaum Quraisy karena sesuai dengan fitrah mereka sejak dahulu kala, hanya saja pembesar Quraisy ketika
itu merasa bahwa ajaran yang dibawa oleh Rosulullah yang telah mereka ketahui
bahwa akan datang kepada mereka seorang Nabi akhir zaman (Basyiran wa Nadziran) akan mengancam sumber-sumber penghasilan
mereka seperti kebiasaan melakukan riba’
dalam perdagangan, penjualan budak, dan uang dari hasil kunjungan orang diluar Mekkah
untuk thawaf mengelilingi
berhala-berhala yang ketika itu bertebaran disekitar Ka’bah, sehingga itulah
yang membuat pertentangan terhadap Rosulullah dan ajaran yang dibawanya.
Berbicara
mengenai kemampuan berdagang kaum Quraisy, hal ini merupakan sebuah kelebihan yang
diberikan Allah (s.w.t) kepada mereka mengingat kondisi alam yang tidak dapat
mereka andalkan sebagai sumber penghidupan mereka lebih mengandalkan tawakkal kepada Allah (s.w.t), sehingga
mereka tertempa untuk dapat melakukan perdagangan hingga penjuru dunia dan
dikenal sebagai masyarakat pedagang serta pelopor dalam menciptakan jalur
perdagangan dunia baik didarat (jalur sutra) maupun jalur laut.
Ketauhidan
menjadi hal yang mendasar dalam agama ini, dimana sikap kita yang berusaha
untuk tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan menghindarkan diri kita dari
perbuatan musyrik dapat meluas ke ranah yang lebih dalam dan lebih jauh lagi,
sebagaimana yang termaktub dalam Ghozul
Fikri (perang pemikiran) yang nampaknya saat ini perlu diperkuat kembali.
Sebagaimana yang kita sadari dimana kondisi masyarakat sekarang yang secara
tidak sadar diarahkan untuk berpikir Humanisme
Sekuler (berpikir hedonis) atau Mu’tazilah.
Ini pun dapat kita pahami dalam hal berdemokrasi, dimana jika pahami demokrasi
sebagai suatu paham yang kita yakini kebenarannya maka hal itu menjadi
salah, namun jika kita pahami demokrasi sebagai alat yang kita gunakan
dalam perjuangan ini maka hal itu dibenarkan. Masih banyak hal-hal yang jika
kita cermati dengan seksama akan kita peroleh sebagai suatu Ghozul Fikri (perang pemikiran) contoh:
program MDGs (Millenium Development Goals)
salah satunya poin Family Mainstreaming;
yang mengaburkan makna sebenarnya dari sebuah keluarga, perubahan KTP menjadi
catatan sipil yang tidak mengikut sertakan identitas agama didalamya, idola
pemuda/pemudi saat ini (Super Junior, Lady Gaga) yang mengajarkan
gaya hidup hedonis, dan Lady Gaga yang mengikrarkan diri sebagai
pengikut setan, Na’udzubillah !!
“To
be Continued,.....”
Depok,
Tarbiyah City, 21 Jumadil Tsani 1433 H,
-Moejaheedean Al Qassam-
Labels:
Dakwah-Ku,
KH. Hilman Rosyad Shihab. Lc.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
My Stuff
- Apoteker-Ku (3)
- Cerita-Ku (11)
- Dakwah-Ku (8)
- KH. Hilman Rosyad Shihab. Lc. (3)
- Master of Clinical Pharmacy (3)
- My English (4)
Post a Comment